Think outside the box!

 

Kita sudah sering membaca atau mendengar penggunaan  idiom tersebut dalam berbagai artikel atau tontonan sehari-hari. Tapi sudahkah kita menerapkannya dalam kehidupan yang kadang memerlukan pemecahan masalah secara kreatif?

Makna pemikiran di luar kotak sebagai terjemahan per kata idiom “think outside the box” adalah metafora yang mengajak kita untuk berpikir di luar kebiasaan, melihat sesuatu dengan perspektif yang berbeda sebelum kemudian bertindak atau mengambil keputusan tertentu. Cara berpikir di luar kotak pertama kali diperkenakan oleh Henry Ernest Dudeney, seorang ahli matematika dari Inggris lewat teka-teki “9 titik” yang ia ciptakan, selanjutnya kemudian dipopulerkan oleh John Adair seorang akademisi Inggris yang telah banyak menghasilkan buku teori kepemimpinan yang banyak dijadikan pedoman di berbagai universitas, dunia bisnis bahkan militer hingga saat ini.

Dinyatakan di luar kotak karena memang kadang paradigma yang beredar di masyarakat seolah-olah sudah dikotak-kotakkan, sehingga jika ada yang memiliki ide diluar paradigma yang berlaku kemudian dianggap nyeleneh. Coba kita berkaca pada kejadian di masa lalu, saat Edison kecil dianggap murid bodoh di sekolah formal pada tahun ketiganya bersekolah. Ibunya pun tidak tinggal diam dan  memutuskan manjalankan homeschooling yang masih asing pada zamannya demi mendidik Edison muda karena keyakinannya sebagai orang tua bahwa anaknya tidak bodoh.

 

I have not falied. I’ve just found 10,000 ways that wont work

-Thomas Alva Edison-

 

Coba kita bayangkan jika saat itu Nancy M.Elliot tidak menarik Edison muda dari sekolah  umum yang sedang menjadi trend Pendidikan Amerika pada abad kesembilan belas, tentu Edison tidak akan bisa dengan leluasa membaca jurnal ilmiah dewasa dan mengadakan berbagai percobaan sederhana sendiri di rumahnya. Keberanian Nyonya Elliot berpikir dan mengambil tindakan di luar kotak menjadi awal penemuan berbagai alat penting yang berguna hingga saat ini, dia membekali pendidikan Edison muda dari School of Natural Philosophy karya RG Parker dan The Cooper Union for the Advancement of Science and Art.  Hingga akhirnya Edison pada usia 22 tahun bisa menjadi penemu “Universal Stock Printer” yang kemudian membuka jalannya menjadi penemu ternama pada masanya, penemuan berikutnya yang terkenal adalah fonograf, lampu pijar, generator listrik, detektor kapal, baterai starter mobil, selam perekam suara hingga film.

 

“Just because something doesn’t do what you planned it to do doesn’t mean it’s useless.”

-Thomas Alva Edison-

 

Kisah Ibunda Edison dan putranya bisa menjadi contoh konkret bagi kita semua bahwa kemauan dan kemampuan berpikir di luar kotak adalah cara kreatif dalam mencari jalan keluar sebuah masalah, bahkan bisa menjadi sumber keberhasilan dan kesuksesan. Oleh karenanya saat kita menemui kesulitan kita bisa coba untuk melihat sumber masalah dari berbagai sudut pandang sebelum memutuskan sesuatu, sebaiknya jangan mengambil keputusan berkaitan dengan kepentingan pribadi, anak atau keluarga hanya dari anggapan masal masyarakat sekitar. Selama pemikiran di luar kotak kita tidak melanggar norma yang berlaku di masyarakat tentu tidak akan menjadi masalah bukan?

 

“Vision without execution is hallucination.”

-Thomas Alva Edison-

 

Jika dikaitkan dengan dunia pendidikan dewasa ini, kekurang mampuan masyarakat umum dalam berpikir di luar kotak sangat terlihat pada masa awal pandemi Covid 19 lalu yang mengharuskan proses belajar dilakukan di rumah. Keterbatasan kemampuan berpikir kreatif kemudian menjadi masalah besar yang memunculkan banyak berita miris seputar tingkat stress dikalangan orang tua, murid bahkan guru sebagai pendidik. Paradigma yang menganggap proses pendidikan harus dilakukan di sekolah dengan format yang tidak berubah sejak berabad-abad lalu, memunculkan isu saling menyalahkan antara guru dan orang tua saat PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) atau BDR (Belajar Dari Rumah) mulai diberlakukan seolah-olah saling melempar tanggung jawab, padahal pendidikan generasi penerus adalah tanggung jawab bersama.

 

“Discontent is the first necessity of progress.”

-Thomas Alva Edison-

 

Empat tahun berlalu sejak Pandemi Covid 19 meluas di Indonesia dan memaksa kita beradaptasi dengan kebiasaan baru, sudah waktunya bagi kita bersama-sama berpikir di luar kotak untuk menemukan pola pendidikan terbaik baik putra-putri kita. Bukankah salah satu hikmah terbesar pendemi dalam dunia Pendidikan adalah terbukanya cakrawala kita mengenai blended learning  serta terbukanya era society 5.0 era dimana masa kolaborasi saat ini menuntut kita untuk mengsinergikan antara adab dengan kemampuan digital sehingga masyarakat bisa bersinergi dengan teknologi tanpa melupakan fitrahnya.

Mari berhenti menyalahkan keadaan dan mulai mencari jalan keluar sacara kreatif, mulai lihat berbagai kemungkinan atau bisa juga kita cari pihak ketiga keempat dan seterusnya yang bisa kita ajak berkolaborasi serta membantu kita mengatasi berbagai tantangan dalam menghadapi disrupsi di berbagai bidang.

 

Oleh : Nurvani Septiani

Seorang praktisi pendidikan yang telah bergelut di dunia Pendidikan Homeschooling selama 17  tahun, Asesor BAN PAUD PNF selama 3 tahun dan kini aktif sebagai Konsultan Pendidikan, Asesor GTK Kemdikbudristek dan Asesor bidang Inklusi di Asssessment Center Kota Bandung.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.