Oleh : Asri Juli
“Bu Guru, aku mau jadi Presiden.” Jawab seorang anak usia lima tahun saat berdialog dengan gurunya tentang cita-cita. Ungkapan anak tersebut sebenarnya biasa saja kita dengar dari celoteh anak-anak di usia dini saat mengungkapkan cita-citanya. Namun, ungkapan tersebut jadi menggelitik rasanya ketika bersanding dengan konteks Pemilihan Umum (Pemilu) saat ini.
Pembahasan tentang calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres & Cawapres) tidak pernah lepas dari ruang-ruang diskusi orang dewasa saat ini. Baik secara daring maupun luring, orang-orang dewasa menaruh perhatian yang cukup besar pada kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mereka mengambil berbagai peran seperti sebagai pendukung salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, pengamat, kritikus dan lainnya.
Akan tetapi, kadang para orang tua atau orang dewasa lainnya mengabaikan anak-anak di sekitarnya yang terlibat sebagai penonton/pemerhati fenomena ini. Pendapat-pendapat orang tua, saudara, guru dan orang dewasa di sekitar mereka baik secara sengaja atau tidak sengaja didengar oleh anak-anak adalah sebuah stimulasi dalam proses perkembangan kognitif anak-anak. Selain perkembangan kemampuan berpikir anak, segala sesuatu yang mereka tangkap dari fenomena ini juga berpepengaruh pada aspek perkembangan sosial dan emosional anak. Lantas bagaimana orang tua atau orang dewasa menyikapi fenomena pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini di hadapan anak-anak?
Anak-anak dan Demokrasi
Pemilihan Umum (pemilu) adalah bagian yang harus dilalui dalam negara yang menganut sistem demokrasi seperti Republik Indonesia. Demokrasi sendiri memiliki lima nila-nilai yang harus menjadi landasan setiap individu dalam menjalankan perannya sebagai warga negara yaitu nilai toleransi, nilai kebebasan mengemukakan pendapat, nilai terbuka dalam berkomunikasi, nilai percaya diri, nilai tanggung jawab, dan nilai kerja sama.
Dalam membangun sebuah keluarga, idealnya orang tua mampu menanamkan nilai-nilai demokrasi dalam keluarga sejak anak berusia dini. Hal tersebut bisa dilakukan melalui hal-hal yang sederhana seperti memberikan kesempatan kepada anak dan mendengarkan pendapatnya. Jika, demokrasi tidak diterapkan dalam ruang lingkup yang paling dekat dengan anak maka stimulasi perkembangan kognitif dan sosial emosional anak tidak akan berjalan dengan optimal.
Untuk mengawal anak memahami demokrasi dalam ruang lingkup yang lebih luas seperti sekolah, masyarakat, dan ruang-ruang lainnya saat anak mulai tumbuh dewasa maka diperlukan adanya stimulasi dari ruang lingkup terkecil yaitu keluarga. Keutuhan proses belajar demokrasi dalam keluarga akan berperan besar membangun karakter anak yang demokratis sehingga memudahkan anak untuk bisa beradaptasi di ruang lingkup yang lebih luas.
Presiden di Mata Anak
Usia dini menurut para ahli disebut dengan masa keemasan (golden age). Dalam kajian Neuroscience, golden age adalah masa terjadinya perkembangan syaraf otak yang berfungsi mencapai 80% pada fase usia 0-8 tahun. Pada kondisi ini, anak-anak cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan mudah menyerap berbagai informasi serta stimulasi yang mereka dapat dari luar. Di era sosial media ini, anak-anak menyerap berbagai informasi melalui media digital dan internet termasuk konten-konten tentang Calon Presiden dan Wakil Presiden yang membanjiri sosial media kita saat ini.
Informasi yang diterima anak akan ikut menstimulasi perkembangan kognitif dan sosial emosional anak termasuk membangun persepsi tentang apa itu Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, persepsi yang terbentuk di masyarakat tentang Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi juga turut menstimulasi perkembangan kognitif anak. Selain kemampuan otak yang prima dalam menerima berbagai stimulasi, anak-anak pada usia dini juga berada tahap perkembangan kemampuan imajinatif sehingga berbagai informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dikolaborasikan dengan imajinasi anak dan menjadikannya sebuah keinginan atau cita-cita.
Salah satunya adalah cita-cita ingin menjadi Presiden. Bagi anak-anak, menjadi Presiden ketika dewasa adalah pekerjaan yang membanggakan karena dalam imajinasinya anak ingin meniru apa yang dilihat dan dikagumi oleh orang-orang dewasa terutama orang tuanya. Akan tetapi, apakah sebagai orang tua dan orang dewasa di sekitar anak kita hanya akan menyaksikan dan membiarkan anak memahami Presiden sesuai dengan persepsinya?
Gak Bahaya Tah?
Menurut Alexander S. Neill (2016:54) tugas anak adalah melakoni hidup dengan kehidupannya sendiri bukan kehidupan yang menurut orang tuanya yang cemas, mesti dia jalani bukan pulan tujuan yang sesuai dengan ahli pendidika yang merasa tahu apa yang terbaik bagi anak. Semua campur tangan dan petunjuk orang dewasa ini hanya akan menghasilkan generasi robot.
Namun demikian, bukan berarti orang tua abai terhadap berbagai keinginan dan imajinasi anak. Sebagai contoh, keinginan anak untuk menjadi Presiden jangan sampai ditanggapi sebagai celoteh biasa anak tanpa adanya respon dan stimulasi dari orang tua dan orang dewasa di sekitarnya.
Di negara demokrasi seperti Republik Indonesia, menjadi Presiden bukanlah sebuah hal yang mudah digapai oleh semua orang. Kenyataan saat ini, untuk menjadi Presiden diperlukan berbagai seperangkat alat politik yang mampu mengantarkan seseorang menjadi penguasa tertinggi dalam sebuah negara.
Anak-anak yang bercita-cita menjadi Presiden adalah anak yang berkehendak memiliki jiwa kepemimpinan maka tugas orang tua atau orang dewasa di sekitar anak perlu melakukan upaya untuk menstimulasi anak untuk mampu menerapkan nilai-nilai demokrasi karena pemimpin pada sistem demokrasi sebaiknya adalah seseorang dengan karakter yang demokratis.
Selain mengenalkan anak pada nilai-nilai demokratis, orang tua dan orang dewasa di sekitar anak juga perlu mengenalkan anak pada nilai-nilai kepemimpinan seperti karakter integritas, keberanian, rasa hormat, kesadaran diri, empati, dan rasa syukur. Hal tersebut perlu dapat dilakukan melalui hal-hal sederhana di rumah atau sekolah seperti memberi kesempatan anak untuk memimpin teman-temanya bernyanyi atau membiasakan anak untuk bertanggung jawab dengan membereskan kembali mainan setelah digunakan.
Bercita-cita menjadi Presiden sama sekali tidak berbahaya apabila kita mampu melakukan pengasuhan dan pendampingan kepada anak secara optimal dengan mendekatkan anak pada nilai-nilai demokrasi. Akan tetapi bisa menjadi bahaya bagi anak apabila orang tua mengabaikan celoteh, cita-cita dan keinginan mereka dan tidak memberikan stimulasi agar anak dapat memenuhi tugas perkembangan mereka. Bisa juga menjadi bahaya apabila anak tidak dibesarkan dengan nilai-nilai demokrasi di dalam keluarga. Terlepas kelak anak dapat meraih cita-citanya menjadi Presiden atau tidak yang paling penting adalah bagaimana orang tua dan orang dewasa di sekitar anak mampu menstimulasi anak untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai demokratis serta menanamkan jiwa kepemimpinan pada diri anak karena tugas utama bagi seorang manusia adalah menjadi seorang pemimpin setidaknya bagi diri sendiri.