Anak Thalasemia Raih Mimpi dengan Homeschooling
oleh: Asri Juli
Imah Thalasemia bertempat di GOR KONI Majalaya menjadi tempat pertemuan kami para relawan pengajar homeschooling bersama para siswa thalasemia untuk pertama kalinya. Di hari Minggu yang penuh energi tanggal 19 Januari 2025, empat orang homeschooler thalasemia sudah bersiap untuk bersekolah dalam suasana yang berbeda. Ada Fazri, Nissa, Arya dan Adis mata mereka memancarkan antusias dan kecemasan. Ini mungkin sekolah yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Sekolah dalam bayangan mereka mungkin dilakukan di hari-hari tertentu, jam tertentu, menggunakan seragam dana ada gedung sekolah yang mereka tuju setiap hari. Akan tetapi, saat ini mereka datang di hari Minggu, tanpa seragam dan ke tempat yang bukan gedung sekolah.
Bukan hanya mereka yang antusias dan cemas, para pengajar pun begitu. Seperti mereka, kami pun baru pertama kali menjadi relawan untuk mengajar anak-anak penyintas thalasemia (thaler). Ada rasa gembira dan antusias tapi ada juga rasa cemas apakah anak-anak akan dapat menerima kami sebagai guru mereka atau apakah metode kami bisa membuat mereka bahagia belajar bersama kami?
Putus Sekolah
Kondisi tubuh anak-anak penyintas thalasemia (thaler) bisa dikatakan kurang stabil. Hari ini saja dari tujuh orang anak hanya empat orang anak yang bisa menghadiri pembelajaran karena lainnya masih dalam kondisi Kesehatan yang kurang. Hal inilah yang melatarbelakangi mereka tidak dapat menempuh pembelajaran di sekolah formal. Pada umumnya, anak-anak penyintas thalasemia (thaler) merasa kewalahan menghadapi tuntutan sekolah formal karena kondisi fisik yang kurang stabil apalagi di saat tubuh mereka sudah memerlukan transfusi darah sehingga seringkali mereka mengeluh kelelahan untuk sekolah.
Selain itu, kondisi fisik yang kurang stabil juga menjadikan mereka korban perundungan karena sering tertinggal dalam berbagai aktivitas fisik atau karena dianggap lemah oleh teman-teman sebayanya. Meskipun kepala sekolah dan guru sudah memaklumi keadaan anak-anak thaler tapi tidak dapat dipungkiri anak-anak thaler merasa kurang nyaman dan aman untuk sekolah sehingga sebagian dari mereka memutuskan untuk berhenti sekolah.
Hal itulah yang disampaikan oleh anak-anak pada sesi asesmen awal pembelajaran hari ini. Meskipun masih sangat malu-malu, mereka menjawab pertanyaan guru tentang bagaimana rasanya saat sekolah dulu. Nissa yang sehari-hari harus berjalan dengan bantuan kursi roda menjawab bahwa sekolah itu capek.
Asesmen Awal Pembelajaran
Di sesi ini, kami mengajak anak-anak untuk bermain berbagai permainan literasi dan numerasi sebagai asesmen awal pembelajaran. Ketegangan dari wajah mereka perlahan berkurang setelah sesi permainan dimulai, senyum mereka melebar, suara mereka mulai terdengan dan menjawab pertanyaan dengan antusias.
Setelah sesi perkenalan mereka diajak untuk bermain angka untuk melihat kemampuan numerasi. Seolah diingatkan kembali, mereka mencoba memecahkan satu demi satu permainan dengan antusias. Maklum saja mereka sudah lama tidak sekolah sehingga banyak materi pembelajaran yang sudah lupa. Tapi antusias mereka dalam bermain cukup meyakinkan kami bahwa mereka sangat ingin belajar.
Pada sesi asesmen literasi, kami mengajak anak-anak untuk menyimak dan membaca buku cerita. Melalui kegiatan literasi, kami berharap anak-anak thaler bisa teralihkan fokusnya dari gawai karena tanpa ada aktivitas belajar setelah putus sekolah, rata-rata anak-anak menghabiskan waktu dengan gawai. Hal itu pula yang mereka sampaikan pada saat menceritakan kegiatan mereka di rumah yang lebih sering bermain handphone.
Asesmen ditutup dengan refleksi kegiatan. Berbeda dengan awal kegiatan, mereka yang tadinya malu-malu kini terlihat lebih berani dan ceria. Saat ditanya perasaan mereka, serentak mereka menjawab senang dan bahagia. Mereka menyampaikan tidak keberatan dan akan senang jika belajarnya seminggu sekali saja dan hanya dua jam seperti sekarang.
Hak Anak atas Pendidikan
Fasilitasi pembelajaran bagi anak-anak thaler melalui homeschooling merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh Relawan Donor Darah Thalasemia Indonesia (Redti), Asmaraloka Volunteer dan orang tua thalasemia dengan tujuan untuk tetap memberikan layanan pendidikan anak yang lebih fleksibel bagi anak-anak thalasemia.
Tahun ini akhirnya rencana itu terwujud melalui kerja sama denga Homeschooling Semesta Edukasi sebagai Lembaga penyelenggara pendidikan non formal yang sudah berizin. Melalui kerja sama ini, anak-anak thalasemia juga dapat dipenuhi hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan belajarnya.
Homeschooling Semesta Edukasi yang juga Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusi merasa perlu berperan menjadi satuan pendidikan yang mampu mewadahi siapapun untuk mendapatkan pendidikan. Bak gayung bersambut, akhirnya penyelenggaraan homeschooling untuk anak thalasemia dapat terwujud.
Meraih Mimpi
Selayaknya manusia, anak-anak dan orang tua dari anak-anak thalasemia juga memiliki mimpi dan harapan untuk masa depan. Semula, mereka menyerah pada proses pendidikan formal karena berbagai keterbatasan namun kini harapan itu kembali ada melalui jalur pendidikan non formal.
Perjuangan untuk mendapatkan perawatan thalasemia bukanlah hal yang mudah. Bertahun-tahun para thaler berjibaku dengan waktu untuk bisa mendapatkan pengobatan tetapi di sisi lain banyak harap dan keinginan untuk bisa hidup layaknya orang lain yang sehat. Namun dengan segala keterbatasan tak jarang waktu, tenaga dan uang habis untuk memperjuangkan pengobatan.
Karena itulah, program homeschooling hadir agar dapat memenuhi asa dan harapan mereka dapat mengenyam pendidikan. Pembelajaran yang menyenangkan dan fleksibel diharapkan mampu memfasilitasi mereka dalam meniti tangga menuju kesuksesan di masa depan.
Guru Kehidupan
Setelah sesi belajar hari ini selesai, ada rasa haru yang menyeruak di dada para pengajar. Melihat bagaimana anak-anak memiliki semangat yang besar, nampaknya kita sebagai manusia yang sehat harus merasa malu karena terlalu banyak mengeluh dan beralasan. Mereka mengajarkan arti hidup yang sebenarnya, berjuang untuk pengobatan bertahun-tahun dan berjibaku dengan rasa sakit ternyata tidak menjadikan mereka generasi yang patah arang. Mereka tetap menjadi para pemimpi dan tak lelah belajar serta tidak kalah oleh rasa sakit. Merekalah sejatinya guru bagi kehidupan.