oleh: Asri Juli
Ditandai gema takbir dari seluru penjuru, akhirnya bulan Ramadhan tahun 1446 H telah kita lalui. Masing-masing dari kita dituntut untuk berefleksi apa bulan Ramadhan ini kita dapat lalui dengan ibadah sebaik mungkin yang tercermin dari perilaku kita yang semakin baik pula. Ataukah kita belum puas dengan ibadah dan kebaikan yang kita lakukan di bulan Ramadhan tahun ini.
Berakhirnya bulan Ramadhan disertai dengan datangnya bulan Syawal dimana pada 1 Syawal kita semua akan melaksanakan shalat Idul Fitri. Makna Idul Fitri adalah hari kemenangan dan kembali kepada fitrah, di mana umat Islam merayakan keberhasilan puasa Ramadan dan menyucikan diri, serta mempererat tali persaudaraan.
Di Indonesia, Idul Fitri erat kaitannya dengan budaya lebaran yang dirayakan dengan menyediakan berbagai kuliner, baju baru, mudik dan silaturahim sebagai bentuk rasa syukur dan merayakan kemenangan. Namun, tak jarang budaya lebaran kehilangan makna Idul Fitri yang sebenarnya yaitu kembali pada fitrah (kesucian diri) dan memperat tali persaudaraan. Padahal selama bulan Ramadhan, Allah mewajibkan kita untuk melaksanakan ibadah puasa sebagai upaya mendidik manusia menjadi manusia yang semakin baik dan penuh kendali. Kenyataannya, seringkali kita kehilangan makna “kendali” saat puasa bahkan berupaya “balas dendam” untuk memenuhi segala hal yang tertahan saat berpuasa.
Makna Puasa
Ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi semua umat Islam di seluruh muka bumi. Allah mewajibkan ibadah puasa bukan karena Allah membutuhkan ibadah puasa kita tetapi karena manusia membutuhkan manfaat dari ibadah puasa sehingga Allah mewajibkannya sebagai bentuk pendidikan bagi umat manusia.
Ibadah puasa termasuk ibadah yang paling tua, sejak zaman Nabi Adam As. Selain itu Nabi Nuh juga melaksanakan puasa bersama umatnya saat terombang-ambing di lautan, Nabi Musa As melaksanakan ibadah puasa selama 40 hari dan semua Nabi melaksanakan ibadah puasa. Bahkan filsuf seperti Socrates dan Plato juga melaksanakan puasa sebagai obat bagi jasmani dan Rohani.
Menurut Imam Al Ghazali, kedudukan ibadah puasa adalah seperempatnya dari iman. Pernyataan ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa puasa adalah setengah dari kesabaran dan hadits kedua yang berbunyi sabar adalah setengah dari iman. Dari pernyataan tersebut bisa disimpulkan bahwa puasa adalah barometer kualitas keimanan seseorang.
Keistimewaan Puasa
Ibadah puasa memiliki keistimewaan karena di dalam puasa terdapat rahasia yang tidak terdapat dalam ibadah lainnya yaitu seluruh amalnya tidak bisa diksaksikan oleh manusia lainnya tapi hanya Allah yang menyaksikannya. Selain itu, ibadah puasa itu merupakan ibadah yang secara terang-terangan mengekang setan dengan mengendalikan diri sepenuhnya melawan hawa nafsu.
Melalui ibadah puasa, manusia dituntut untuk bisa mengendalikan diri sepenuhnya bukan hanya lapar dan haus tetapi kendali terhadap nafsu lainnya yang berpotensi sebagai kemaksiatan/dosa. Pengendalian diri inilah yang ingin dicapai melalui ibadah puasa. Dengan mengekang diri dari nafsu, manusia dituntut untuk membawa kebiasaan tersebut di hari-hari lain selain bulan Ramadhan. Sejatinya, Allah hendak mengajarkan kepada umat manusia tentar arti dari pengendalian diri melalui ibadah puasa.
Hikmah berpuasa
Ibadah puasa bertujuan untuk mencapai kesuksesan yang ditandai dengan beberapa hal. Apabila kita berhasil melaksanakan puasa cirinya antara lain adalah (1) menjadi manusia yang berakhlak mulia, (2) menumbuhkan sifat pemurah dan penyayang, (3) membantuk watak dan karakter manusia menjadi patuh dan disiplin terhadap hukum Allah yang dimotori jiwa takwa, (4) melatih menahan syahwat dan mengembalikannya kepada batas kesederahanaan dan (5) jalan menuju kesehatan jasmani dan Rohani.
Dari ciri-ciri tersebut kita bisa melakukan evaluasi terhadap ibadah puasa yang kita lakukan selama bulan Ramadhan. Bagaimana kita telah melaksanakan ibadah puasa selama ini? Sudah sukseskah ibadah puasa yang kita laksanakan? Apakah di penghujung bulan Ramadhan kita telah mencapai dari kelima ciri di atas atau malah kita salah focus pada hal duniawi saat lebaran?
Refleksi Idul Fitri
Idul Fitri dan budaya lebaran sangat identik. Kita merayakan Idul Fitri dengan berbagai tradisi dan budaya lebaran. Namun pada praktiknya seringkali pada saat hari raya Idul Fitri kita disibukkan untuk lebaran bukan untuk Idul Fitri (kembali pada kesucian diri). Budaya lebaran selalu menyibukkan masyarakat yang ditandai dengan penuh sesaknya pasar-pasar/pusat perbelanjaan, jalanan macet karena arus mudik, dan hiruk pikuknya manusia untuk dapat merayakan lebaran.
Akan tetapi, seluruh kesibukan itu terkadang menghilangkan makna ibadah puasa yang kita laksanakan selama bulan Ramadhan. Kemenangan yang kita raih karena berhasil mengendalikan diri melawan hawa nafsu selama berpuasa pada akhirnya saat Idul Fitri seringkali kita lupa dan malah berlebih-lebihan dalam konsumsi. Contohnya saja saat berpuasa kita berupaya menahan diri dari nafsu syahwat dan menjaga perilaku tapi saat hari lebaran kita malah lepas kendali dan berlebih-lebihan baik dalam konsumsi dan perilaku sehingga kehilangan makna Idul Fitri yang sesungguhnya.
Idealnya, saat Idul Fitri dan setelahnya kita membawa spirit pendidikan di bulan Ramadhan dalam perilaku kita sehari-hari. Maksudnya, spirit berpuasa adalah pengendalian diri. Allah mendidik manusia dengan ibadah puasa agar manusia mampu menjadi manusia yang terkendali dalam berbagai lini kehidupan. Maka dari itu, Idul Fitri sejatinya adalah momentum dimana manusia berkomitmen kepada Allah SWT untuk dapat membawa seluruh aspek ibadah dalam bulan Ramadhan ke dalam hidup sehari-hari. Cirinya adalah keimanan semakin meningkat, perilaku/akhlak semakin baik, menjadi pribadi yang lebih sederhana (tidak berlebihan) dan jasmani serta ruhani semakin sehat.
Pentingnya kendali
Manusia hakikatnya adalah mahluk ruhani yang esensinya adalah jiwanya. Menurut Syeikh Ibnu Jauzi jiwa manusia terdiri dari tiga unsur yaitu Akal, Ammarah (Keinginan) dan Nafsu. Daya jiwa tersebut perlu dikendalikan terutama unsur nafsu yang berkaitan dengan keinginan level fisik seperti makan, minum dan hasrat seksual.
Ibadah puasa esensinya adalah kendali terhadap daya jiwa kita. Mengapa kendali itu sangat penting? Karena kita adalah manusia yang memang diciptakan oleh Allah dengan tugas utama yaitu ibadah. Sedangkan terbelenggu hawa nafsu memiliki kecenderungan untuk berbuat maksiat sehingga diperlukan kendali agar kita sebagai manusia kembali pada tujuan utama kita yaitu beribadah.
Pengendalian diri juga bermakna agar kita hidup sehat secara fisik dan mental. Dengan jiwa yang terkendali kita dapat hidup dengan tenang, sederhana dan mencapai kebahagiaan yang hakiki. Itulah makna sebenernya Idul Fitri yaitu kembali pada jiwa yang (suci) terkendali.
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=P2GKOVLfh5M Channel Ngaji Filsafat